Secara harfiah, kata filsafata berasal
dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Shopos yang berarti
ilmu atau hikmah.[1]
Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap
pengertian seperti ini al-Syaibany mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah
itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapat-kannya,
memusatkan perhatian kepadanya dan menciptakan sifat positif terhadapnya.
Selanjutnya, ia menambahkan bahwa filsafat pula dapat berarti mencari hakikat
sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan
pengalaman-penga-laman manusia.[2]
Pengertian filsafat dari segi istilah
ini selanjutnya mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Plato (427-347 SM),
sebagai filosof abad klasik, dalam bukunya Euthydemus sebagaimana
dikutip A. Hanafi, M.A., mengatakan bahwa filsafat hanya memperhatikan
soal-soal kerohanian dan penuh ideal serta sama dengan pengetahuan (wisdom).
Sementara itu, Aristoteles (384-332 SM) yang juga termasuk salah seorang
filosof Yunani kuno mengatakan bahwa filsafat memeperhatikan selurah
pengetahuan, dan kadang-kadang disamakan dengan
pengetahuan tentang wujud (ontologi).
Selanjutnya di abad modern, pengertian
filsafat mengalami perkembangan. Herbert (w. 1841 M), misalnya, mendefinisikan
filsafat sebagai suatu pekerjaan yang timbul dari pemikiran. Ia membagi
filsafat menjadi tiga bagian, yaitu: logika, metafisika, dan estetika (termasuk
di dalamnya etika). Dalam pada itu, Comte (w. 1857 M) dan Spencer (w. 1903 M)
memandang filsafat sebagai penggabungan dan penggolongan dari berbagai macam
ilmu dalam suatu pandangan menuju ke arah yang bersifat material semata.
(Jelasnya, terbatas kepada ilmu alam).
Dalam bahasa Indonesia, kata pendidikan terdiri dari kata
didik yang mendapat awalan pen dan akhiran an. Kata tersebut sebagaimana
dijelaskan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal,
cara, dan sebagainya) mendidik.[1]
Selain kata Tarbiyah terdapat pula kata ta’lim.
Kata ini oleh penerjemah sering diartikan pengajaran. Dalam hubungan Jusuf A.
Faisal, pakar dalam bidang pendidikan mengatakan bahwa pengertian pendidikan
Islam dari sudut etimologi (ilmu akar kata) sering digunakan istilah ta’lim dan
tarbiyah yang berasal dari kata ‘allama dan rabba yang
dipergunakan di dalam Al-Qur’an, sekalipun kata tarbiyah lebih luas
konotasinya, yaitu mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik
sekaligus mengandung makna mengajar (allama).
Selanjutnya bagaimanakah penjelasan yang diberikan Al-Qur’an
terhadap ketiga kata tersebut? Untuk ini Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqy dalam
bukunya al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim telah telahj
menginformasikan bahwa di dalam al-Qur’an kata tarbiyah dengan berbagai
kata yang serumpun dengannya diulang sebanyak lebih dari 872 kali. Kata
tersebut berakar pada kata rabb. Kata ini sebagaimana dijelaskan oleh
al-Raghib al-Ashfahany, pada mulanya berarti al-Tarbiyah yaitu insya’
al-sya’i halan fa halun ila hadd al-tamam yang artinya mengembangkan atau
menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap sampai pada batas yang sempurna. Kata
tersebut selanjutnya digunakan oleh Al-Qur’an un tuk berbagai hal antara lain
digunakan untuk menerangkan salah satu sifat atau perbuatan Tuhan, yaitu rabb
al-‘alamin yang diartikan Pemelihara, Pendidik, Penjaga, Penguasa, dan
Penjaga sekalian alam. (Lihat Q.S. al-Fatihah, 1:2; al-Baqarah, 2:131;
al-Maidah, 5:28; al-An’am, 6:45, 71, 162 dan 164; Al-A’raf, 7:54 dan seterusnya).
Islam berasal dari bahasa Arab salima yang kemudian
dibentuk menjadi aslama. Dari kata inilah kemudian dibentuk menjadi kata
Islam. Dengan demikian Islam dari segi bahasa adalah bentuk ism
mashdar (infinitif) yang berarti berserah diri, selamat sentosa atau
memelihara diri dalam keadaan selamat. Pengertian tersebut telah memperlihatkan
bahwa Islam berkaitan dengan sikap berserah diri kepada Alah SWT dalam upaya
memperoleh keridhaan-Nya.
Muzayyin Arifin, misalnya mengata-kan
bahwa filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang
kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam
tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta
dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran
Islam.[1]
Definisi ini memberikan kesan bahwa filsafat pendidikan pada umumnya. Dalam
arti bahwa filsafat Islam mengkaji tentang berbagai masalah yang ada
hubungannya dengan kependidikan, seperti masalah manusia sebagai subyek dan
obyek pendidikan, kurikulum, metode, lingkungan, guru, dan sebagainya. Bedanya
dengan filsafat pendidikan pada umumnya adalah bahwa di dalam filsafat
pendidikan Islam, semua masalah kependidikan tersebut selalu didasarkan pada
ajaran Islam yang bersumberkan al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan kata lain bahwa
kata Islam yang mengiringi kata filsafat pendidikan itu menjadi sifat, yakni
sifat dari filsafat pendidikan tersebut. Dalam hubungan ini Ahmad D. Marimba mengatakan
bahwa filsafat pendidikan Islam bukanlah filsafat pendidikan tanpa batas.
Selanjutnya ketika ia mengomentari kata radikal yang menjadi salah satu ciri
berfikir filosofis mengatakan bahwa pandangan ini keliru. Radikal bukan berarti
tanpa batas. Tidak ada di dunia ini yang disebut tanpa batas, dan bukanlah
menyatakan sesuatu itu tanpa batas, kita telah membatasi sesuatu itu. Lebih
lanjut ia mengatakan bahwa seoramh Islam yang telah meyakini isi keimanannya,
akan mengetahui di mana batas-batas pikiran (akal) dapat dipergunakan. Dan jika
ia berpikir, berfilsafat menyukuri nikmat Allah, berarti ia radikal (konsekuen)
dalam batas-batas itu. Menurut Ahmad D. Marimba, inilah sifat radikal dari
filsafat Islam.
Selain itu terdapat pula pengertian
filsafah pendidikan Islam menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany.
Menurutnya bahwa filsafat pendidikan tidak lain ialah pelaksanaan pandangan
filsafah dan kaidah filsafat dalam bidang pendidikan yang didasarkan pada
ajaran Islam. Lebih lanjut ia mengatakan supaya filsafat pendidikan Islam itu
dapat memperoleh faedah, tujuan-tujuan, dan fungsi-fungsi yang diharapkan dan
diidamkan, filsafat itu harus diambil dari berbagai sumber. Definisi ini nampak
memberi kesan adanya pengembangan sumber yang dijadikan bahan bagi penyusunan
falsafah pendidikan Islam. Yaitu jika pendapat sebelumnya, Ahmad D. Marimba dan
Muzayyin Arifin terkesan mengatakan bahwa sumber filsafat pendidikan Islam itu
hanya Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka pendapat yang terakhir itu selain menyatakan
al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber, ditambah dengan pendapat para filosof
muslim yang terdapat dalam berbagai kitabnya yang hingga kini menurutnya belum
diomanfaatkan secara optimal untuk membangun filsafat pendidikan Islam. Namun
demikian secara substansial pendapat terakhir pun masih dapat dipersoalkan,
yaitu jika sesuatu dijadikan sebagai sumber, maka sumber itu harus permanen,
konstant dan tidak diperselisihkan keberadaannya. Sedangkan dari mana pun ia
berasal atau disampaikan ia tetap memiiki sifat-sifat kekurangan dan kelemahan
yang menyebabkan kedudukannya sebagai sumber dapat dipermasalahkan.
Dari uraian dan analisa tersebut di atas
dapat diketahui bahwa filsafat pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian
secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan
pendidikan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber primer,
dan pendapat para ahli, khususnya filosof muslim, sebagai sumber sekunder.
Selain itu filsafat pendidikan Islam dapat pula dikatakan suatu upaya
menggunakan jasa filosofis, yakni berpikir secara mendalam, sistematik,
radikal, dan universal tentang masalah-masalah pendidikan, seperti masalah
manusia (anak didik), guru, kurikulum, metode, dan lingkungan dengan
menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai dasar acuannya. Dengan demikian,
filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat
pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendi-dikan yang dijiwai
oleh ajaran Islam. Jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa
batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.[2]
[1] H. M.
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1984, cet.
Ke-4, h. xi
[2] Abuddin
Natta, Op. Cit. h. 15
[1] W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1991, cet. Ke-12, h. 250
[1] Louis O. Kattsof, Pengantar
Filsafat (terjemah Soejono Soemargono dari Element of Philosophy), Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1989, cet. Ke-6, h, 11.
Lihat pula Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, cet. Ke-4, h. 1
[2] Omar Mohammad al-Toumy
al-Syaibany (selanjutnya disebut al-Syaibany), Falsafah Pendidikan Islam
(terjemahan Hasan Langgulung dari Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyyah), Jakarta: Bulan Bintang,
1979, cet. Ke-1, h.25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar