Selasa, 20 Maret 2012

Memahami Filsafat Pendidikan Islam


Secara harfiah, kata filsafata berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Shopos yang berarti ilmu atau hikmah.[1]
Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibany mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapat-kannya, memusatkan perhatian kepadanya dan menciptakan sifat positif terhadapnya. Selanjutnya, ia menambahkan bahwa filsafat pula dapat berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-penga-laman manusia.[2]
Pengertian filsafat dari segi istilah ini selanjutnya mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Plato (427-347 SM), sebagai filosof abad klasik, dalam bukunya Euthydemus sebagaimana dikutip A. Hanafi, M.A., mengatakan bahwa filsafat hanya memperhatikan soal-soal kerohanian dan penuh ideal serta sama dengan pengetahuan (wisdom). Sementara itu, Aristoteles (384-332 SM) yang juga termasuk salah seorang filosof Yunani kuno mengatakan bahwa filsafat memeperhatikan selurah pengetahuan, dan kadang-kadang disamakan dengan  pengetahuan tentang wujud (ontologi).
Selanjutnya di abad modern, pengertian filsafat mengalami perkembangan. Herbert (w. 1841 M), misalnya, mendefinisikan filsafat sebagai suatu pekerjaan yang timbul dari pemikiran. Ia membagi filsafat menjadi tiga bagian, yaitu: logika, metafisika, dan estetika (termasuk di dalamnya etika). Dalam pada itu, Comte (w. 1857 M) dan Spencer (w. 1903 M) memandang filsafat sebagai penggabungan dan penggolongan dari berbagai macam ilmu dalam suatu pandangan menuju ke arah yang bersifat material semata. (Jelasnya, terbatas kepada ilmu alam).
Dalam bahasa Indonesia, kata pendidikan terdiri dari kata didik yang mendapat awalan pen dan akhiran an. Kata tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal, cara, dan sebagainya) mendidik.[1]
Selain kata Tarbiyah terdapat pula kata ta’lim. Kata ini oleh penerjemah sering diartikan pengajaran. Dalam hubungan Jusuf A. Faisal, pakar dalam bidang pendidikan mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam dari sudut etimologi (ilmu akar kata) sering digunakan istilah ta’lim dan tarbiyah yang berasal dari kata ‘allama dan rabba yang dipergunakan di dalam Al-Qur’an, sekalipun kata tarbiyah lebih luas konotasinya, yaitu mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik sekaligus mengandung makna mengajar (allama).
Selanjutnya bagaimanakah penjelasan yang diberikan Al-Qur’an terhadap ketiga kata tersebut? Untuk ini Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqy dalam bukunya al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim telah telahj menginformasikan bahwa di dalam al-Qur’an kata tarbiyah dengan berbagai kata yang serumpun dengannya diulang sebanyak lebih dari 872 kali. Kata tersebut berakar pada kata rabb. Kata ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Raghib al-Ashfahany, pada mulanya berarti al-Tarbiyah yaitu insya’ al-sya’i halan fa halun ila hadd al-tamam yang artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap sampai pada batas yang sempurna. Kata tersebut selanjutnya digunakan oleh Al-Qur’an un tuk berbagai hal antara lain digunakan untuk menerangkan salah satu sifat atau perbuatan Tuhan, yaitu rabb al-‘alamin yang diartikan Pemelihara, Pendidik, Penjaga, Penguasa, dan Penjaga sekalian alam. (Lihat Q.S. al-Fatihah, 1:2; al-Baqarah, 2:131; al-Maidah, 5:28; al-An’am, 6:45, 71, 162 dan 164; Al-A’raf, 7:54 dan seterusnya).
Islam berasal dari bahasa Arab salima yang kemudian dibentuk menjadi aslama. Dari kata inilah kemudian dibentuk menjadi kata Islam. Dengan demikian Islam dari segi bahasa adalah bentuk ism mashdar (infinitif) yang berarti berserah diri, selamat sentosa atau memelihara diri dalam keadaan selamat. Pengertian tersebut telah memperlihatkan bahwa Islam berkaitan dengan sikap berserah diri kepada Alah SWT dalam upaya memperoleh keridhaan-Nya.
Muzayyin Arifin, misalnya mengata-kan bahwa filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam.[1] Definisi ini memberikan kesan bahwa filsafat pendidikan pada umumnya. Dalam arti bahwa filsafat Islam mengkaji tentang berbagai masalah yang ada hubungannya dengan kependidikan, seperti masalah manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan, kurikulum, metode, lingkungan, guru, dan sebagainya. Bedanya dengan filsafat pendidikan pada umumnya adalah bahwa di dalam filsafat pendidikan Islam, semua masalah kependidikan tersebut selalu didasarkan pada ajaran Islam yang bersumberkan al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan kata lain bahwa kata Islam yang mengiringi kata filsafat pendidikan itu menjadi sifat, yakni sifat dari filsafat pendidikan tersebut. Dalam hubungan ini Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam bukanlah filsafat pendidikan tanpa batas. Selanjutnya ketika ia mengomentari kata radikal yang menjadi salah satu ciri berfikir filosofis mengatakan bahwa pandangan ini keliru. Radikal bukan berarti tanpa batas. Tidak ada di dunia ini yang disebut tanpa batas, dan bukanlah menyatakan sesuatu itu tanpa batas, kita telah membatasi sesuatu itu. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa seoramh Islam yang telah meyakini isi keimanannya, akan mengetahui di mana batas-batas pikiran (akal) dapat dipergunakan. Dan jika ia berpikir, berfilsafat menyukuri nikmat Allah, berarti ia radikal (konsekuen) dalam batas-batas itu. Menurut Ahmad D. Marimba, inilah sifat radikal dari filsafat Islam.
Selain itu terdapat pula pengertian filsafah pendidikan Islam menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany. Menurutnya bahwa filsafat pendidikan tidak lain ialah pelaksanaan pandangan filsafah dan kaidah filsafat dalam bidang pendidikan yang didasarkan pada ajaran Islam. Lebih lanjut ia mengatakan supaya filsafat pendidikan Islam itu dapat memperoleh faedah, tujuan-tujuan, dan fungsi-fungsi yang diharapkan dan diidamkan, filsafat itu harus diambil dari berbagai sumber. Definisi ini nampak memberi kesan adanya pengembangan sumber yang dijadikan bahan bagi penyusunan falsafah pendidikan Islam. Yaitu jika pendapat sebelumnya, Ahmad D. Marimba dan Muzayyin Arifin terkesan mengatakan bahwa sumber filsafat pendidikan Islam itu hanya Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka pendapat yang terakhir itu selain menyatakan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber, ditambah dengan pendapat para filosof muslim yang terdapat dalam berbagai kitabnya yang hingga kini menurutnya belum diomanfaatkan secara optimal untuk membangun filsafat pendidikan Islam. Namun demikian secara substansial pendapat terakhir pun masih dapat dipersoalkan, yaitu jika sesuatu dijadikan sebagai sumber, maka sumber itu harus permanen, konstant dan tidak diperselisihkan keberadaannya. Sedangkan dari mana pun ia berasal atau disampaikan ia tetap memiiki sifat-sifat kekurangan dan kelemahan yang menyebabkan kedudukannya sebagai sumber dapat dipermasalahkan.
Dari uraian dan analisa tersebut di atas dapat diketahui bahwa filsafat pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya filosof muslim, sebagai sumber sekunder. Selain itu filsafat pendidikan Islam dapat pula dikatakan suatu upaya menggunakan jasa filosofis, yakni berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal tentang masalah-masalah pendidikan, seperti masalah manusia (anak didik), guru, kurikulum, metode, dan lingkungan dengan menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai dasar acuannya. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendi-dikan yang dijiwai oleh ajaran Islam. Jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.[2]


[1] H. M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1984, cet. Ke-4, h. xi
[2] Abuddin Natta, Op. Cit. h. 15
    


[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, cet. Ke-12, h. 250




[1] Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat (terjemah Soejono Soemargono dari Element of Philosophy), Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1989, cet. Ke-6, h, 11. Lihat pula Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, cet. Ke-4, h. 1
[2] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany (selanjutnya disebut al-Syaibany), Falsafah Pendidikan Islam (terjemahan Hasan Langgulung dari Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1979, cet. Ke-1, h.25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar